BAB II.
TINJAUAN
PUSTAKA
A. Klasifikasi
dan Morfologi Cumi-Cumi
Cumi-cumi termasuk
kedalam Phylum Mollusca, Cuvier 1798, Class Cepha-lopoda, Schneider 1784,
Sub-class Coleoidea, E. W. Berry 1928, Order Teuthoidea, Naef 1928, Suborder Myopsida, d'Orbigny 1845, Family
Loliginidae, d'Orbigny 1845. Ordo Theuthoidea merupakan ordo terbesar dari
Chepalopoda, terdiri dari 25 suku tetapi hanya empat suku yang mempunyai nilai
ekonomi, yaitu suku Loliginidae, Omastrephidae, Onychoteuthidae dan
Thysanoteuthidae. Dari suku Loliginidae ada delapan marga, tetapi hanya tiga
marga yang bernilai ekonomis, yaitu: Loligo, Sepioteuthis dan Uroteuthis. Dari
ketiga marga yang tersebut di atas terdapat lima jenis yang bernilai ekonomis,
yaitu: Loligo duvauceli, Loligo edulis,
Loligo singhalensis, Sepeteuthis lessoniana dan Uroteuthis bartsschi, sedangkan tiga suku lainya masing-masing
mempunyai satu jenis yang bernilai ekonomis,
Onytchotethis banksi,
Symplectoteuthis oualanienis dan Thysanoteuthis
rhombus.
Gambar 1. Keluarga Chepalopoda
Karakteristik
khusus yang dimiliki cumi-cumi adalah adanya tinta yang terdapat di atas usus
besar dan bermuara didekat anus. Bila cumi-cumi diserang musuhnya, kantong
tinta akan berkontraksi dan mengeluarkan cairan berwarna hitam gelap melalui
pipa ini. Hal ini menyebabkan terbentunya awan hitam disekelilingnya yang
memungkinkan cumi-cumi terhindar dari serangan. Cairan yang berwarna hitam yang
dikeluarkan mengandung butir-butir melanin (Jacobson, 2005).
Lebih lanjut Jacobson (2005) mengemukakan bahwa secara
morfologi tubuh cumi relatif panjang, langsing dan bagian belakang meruncing
(rhomboidal). Tubuh cumi-cumi dibedakan atas kepala, leher dan badan. Kepala terletak di bagian ventral, memiliki dua mata yang besar dan tidak
berkelopak, berfungsi sebagai alat untuk melihat, mempunyai pandangan mata yang
sangat bagus. Leher pendek dan badan
berbentuk tabung dengan sirip lateral berbentuk segitiga di setiap
sisinya. Pada kepala terdapat mulut yang
dikelilingi oleh empat pasang tangan dan sepasang tentakel (8 tangan dan 2
tentakel panjang). Pada permukaan dalam
tangan dan tentakel terdapat batil isap yang berbentuk mangkok terletak pada
ujung tentakel. Gigi khitin atau kait terletak pada tepi batil isap untuk
memperkuat melekatnya mangsa yang diperolehnya. Pada posterior kepala terdapat sifon atau
corong berotot yang berfungsi sebagai kemudi. Jika ia ingin bergerak ke
belakang, sifon akan menyemburkan air ke arah depan, sehingga tubuhnya bertolak
ke belakang. Sedangkan gerakan maju ke depan menggunakan sirip dan tentakelnya.
Di bagian perut, tepatnya pada sifon akan ditemukan cairan tinta berwarna hitam
yang mengandung pigmen melanin. Fungsinya untuk melindungi diri. Jika dalam
keadaan bahaya cumi-cumi menyemprotkan tinta hitam ke luar sehingga air menjadi
keruh. Pada saat itu cumi-cumi dapat meloloskan diri dari lawan. Pada anterior badan terdapat endoskeleton. Sistem skeletal terdiri atas endoskeleton yang
berbentuk pen atau bulu dan beberapa tulang rawan. Beberapa tulang rawan
tersebut membentuk artikulasi untuk sifon dan mantel, yang lain melindungi
ganglia dan menyokong mata. Endoskeleton yang berbentuk pen tersebut homolog
dengan cangkang pada Mollusca lain. Pada Loligo endoskeleton tersebut
(cangkang) terletak di dalam rongga mantel berwarna putih transparan, tipis dan
terbuat dari bahan kitin. Mantel berwarna putih dengan bintik-bintik merah ungu
sampai kehitaman dan diselubungi selaput tipis berlendir.
Selengkapnya dapat dilihat
pada Gambar 2.
Gambar
2. Anatomi Cumi-cumi
Sistem saraf yang berkembang baik yang
dipusatkan dikepala, berenang dengan cepat, menunjukkan emosi, berubah warna
dengan cepat dengan kromatofor, dan dapat merayap di dasar atau berenang
didekat dasar. Kelompok hewan ini ber-badan lunak dan tidak mempunyai cangkang
yang tebal, mantelnya menyelimuti sekeliling tubuhnya membentuk kerah yang agak longgar pada bagian
leher. Jenis yang paling umum dijumpai adalah antara lain cumi-cumi (Loligo vulgaris) dengan tubuh yang
langsing. Kerangkanya tipis dan bening yang terdapat didalam tubuhnya. (Nontji.
2002).
B. Habitat
dan Tingkah Laku
Pada umumnya cumi-cumi ditemukan pada
daerah pantai dan paparan benua hingga kedalaman 400 meter. Beberapa spesies
cumi-cumi hidup sampai di perairan payau. Cumi-cumi digolongkan sebagai
organisme pelagik, tetapi kadang-kadang digolongkan sebagai organisme demersal
karena sering berada di dasar perairan. Cumi-cumi melakukan pergerakan diurnal,
yaitu pada siang hari akan berkelompok didekat dasar perairan dan akan menyebar
pada daerah permukaan pada malam hari (Brodziak, 1999 dalam Tallo, 2006).
Cumi-cumi
tergolong hewan pemakan daging (karnivora)
oleh sebab itu semua biota laut yang bisa masuk mulutnya akan dimakan seperti
kerang, ikan dan hewan laut lainnya. Cumi-cumi menangkap mangsanya dengan
menggunakan jari-jarinya yang mempunyai
mangkok pengisap, giginya menyerupai paruh betet yang tajam. Cumi-cumi ada yang
hidup dilaut dalam dan ukurannya sangat besar (Baskoro 2007).
Cumi-cumi sangat terbantu selama
berburu dengan adanya alat peraba (tentakel) pada mulutnya. Tentakel yang seperti cambuk ini biasanya
tetap tergulung dalam kantung yang terletak di bawah lengan-lengannya. Ketika menemukan mangsa, cumi-cumi menjulurkan
tentakel untuk menyergapnya. Makhluk ini bergantung pada lengan-lengannya yang
jumlahnya delapan. Ia mampu dengan mudah
mencabik-cabik seekor kepiting menjadi serpihan kecil dengan menggunakan
paruhnya. Cumi-cumi menggunakan paruhnya dengan begitu terampil sehingga mampu
dengan baik melubangi kulit cangkang kepiting dan mengeluarkan dagingnya dengan
lidah.
C.
Reproduksi dan Siklus Hidup
Cumi-cumi
berproduksi secara seksual. Cumi-cumi betina mengeluarkan ba-nyak benang telur
ke dalam air, sedangkan yang jantan mengeluarkan sperma. Cumi-cumi mempunyai sifat dimorfil seksual,
yaitu perbedaan morfologi antara betina dan jantan. Perbedaan yang umum adalah
cumi-cumi betina lebih besar dari pada cumi-cumi jantan. Perbedaan kelamin juga dapat dilihat bahwa pada jantan lengan
empat berubah menjadi alat kopulasi yang disebut hektokotil yang berfungsi
menyalurkan sperma ke betina. Ketika melakukan kopulasi, hektokotil telah
berisi sperma dan di-masukkan ke dalam rongga mantel betina kemudian sperma
akan membuahi telur-telur pada cumi-cumi betina. Sebelum melakukan kopulasi
cumi-cumi jantan akan mengambil sperma dari alat genitalianya. Sperma akan
dikemas dalam tabung khitin, yang dinamakan spermatofor yang ukurannya sekitar
10–15 mm. Dalam satu hari jantan dapat memproduksi kurang lebih 12 spermatofor
(Roper et al.1984).
Di bawah kulit cumi-cumi tersusun sebuah lapisan padat
kantung-kantung pewarna lentur yang disebut kromatofora. Dengan menggunakan
lapisan ini, cumi-cumi dapat mengubah penampakan warna kulitnya yang tidak
hanya membantu dalam penyamaran akan tetapi juga sebagai sarana komunikasi. Seekor cumi-cumi jantan menunjukkan warna yang
berbeda ketika kawin dengan warna yang digunakan ketika menghadapi musuhnya.
Saat cumi-cumi jantan bercumbu dengan cumi-cumi betina, kulitnya berwarna
kebiruan. Jika jantan lain datang mendekat pada waktu ini, ia menampakkan warna
kemerahan pada separuh tubuhnya yang terlihat oleh jantan yang datang itu. Merah adalah warna peringatan yang digunakan
saat menantang
atau melakukan serangan (Roper et al.1984).
Terdapat pula rancangan sempurna pada sistem
perkembangbiakan cumi-cumi. Telurnya memiliki permukaan lengket yang
memungkinkannya menempel pada rongga-rongga di kedalaman lautan. Janin yang ada
dalam telur memakan sari makanan yang telah tersedia dalam telur tersebut hingga
siap menetas. Janin ini memecah selubung telur dengan cabang kecil mirip sikat
pada bagian ekornya. Setiap seluk beluknya telah dirancang dan bekerja
sebagaimana direncanakan. Seekor induk cumi-cumi rata-rata mampu menghasilkan
sekitar 500 butir telur (Baskoro, 2007).
Menurut Summers (1971); Lange (1982) dalam Jacobson (2005), cumi-cumi
mempunyai jangka waktu hidup 1–2 tahun.
Brodziak dan Macy (1996) melakukan pengukuran pertumbuhan cumi-cumi
dengan metode statolith diperoleh bahwa umur kurang dari satu tahun ukurannya dapat mencapai sekitar 40–50
cm, tetapi sebagian besar masih kurang dari 30 cm. Selanjutnya masa hidup cumi-cumi hanya 6–9
bulan (Yang et al. 1983; Jackson,1994;
dan Jackson, 2003 dalam Hanlon, at.al. 2004).
D.
Populasi dan Distribusi
Populasi cumi-cumi semakin hari kian terancam
keberadaanya, mengingat kini makin meningkat intensitas pencemaran dan
kerusakan lingkungan di laut. Hal ini tentu saja akan berpengaruh terhadap
ekosistem laut terutama cumi-cumi yang ter-golong hewan yang amat peka terhadap
pencemaran. Sedikit saja terjadi perbedaan kualitas air akan menghindar dari
kawasan perairan tersebut, selain itu cumi-cumi juga tidak bisa kawin kalau
bukan pada habitat aslinya, sehingga
sulit untuk dibudidaya-kan (Baskoro, 2008).
Menurut Soewito (1990) dalam
Aras (2008), cumi-cumi menghuni perairan dengan suhu antara 8–32 ºC dan salinitas 8,5–30‰.
Terjadinya kelimpahan cumi-cumi ditunjang oleh adanya zat hara yang terbawa
arus (run off) dari daratan. Zat
hara tersebut dimanfaatkan oleh zooplankton, juvenile ikan ataupun ikan-ikan
kecil yang merupakan makanan cumi-cumi.
Cumi-cumi pada siang hari berada didasar perairan, pada malam hari
cumi-cumi bergerak ke permukaan air.
Cumi-cumi biasanya bermigrasi secara bergerombol (Scooling). Cumi-cumi sangat berasosiasi dengan faktor
lingkungan seperti salinitas, suhu dan kedalaman perairan. Kedalaman perairan berpengaruh terhadap
keberadaan cumi-cumi (Brodziad and Hendrickson, 1999 dalam Tallo, 2006).
Migrasi
harian cumi-cumi dipengaruhi pula oleh kehadiran predator dan pe-nyebaran
makanan. Cumi-cumi dewasa pada umumnya
bermigrasi ke daerah pemijahan secara bergerombol. Genus Ommastrphid diketahui memijah
di daerah lepas pantai, sedangkan Loligonid memijah di dekat pantai (in shore). Pada waktu bermigrasi ke daerah dekat pantai
untuk memijah, cumi-cumi jantan dari genus Loligo tiba lebih dahulu di pantai
dari betina. Cumi-cumi akan segera meninggalkan suatu lingkungan perairan yang
tercemar dan mencari perairan yang lebih baik (Sauer et.al, 1999 dalam
Tallo, 2006).
E. Kapsul Telur
Istilah kapsul
telur dimana di dalamnya terdapat telur-telur sering disebut dalam menjelaskan
perkembangan embrio. Kapsul pada mulanya disebut chorion yang merupakan sekresi
dari folikel selama tahap akhir oogenesis.
Telur yang telah matang dan bebas
dari jaringan folikel, dikeluarkan melalui
saluran telur dengan
cara satu persatu atau berturut-turut dalam satu rangkaian yang berisi beberapa telur pada satu kali pelepasan telur (Boletzky,
1977; Segawa, 1987 dalam Aras, 2008).
Telur cumi-cumi yang ditempelkan umumnya
berkumpul membentuk koloni. Adapun bentuk
telur cumi-cumi ditampilkan pada Gambar 3. dapat
mencapai 10 sampai 275 kapsul
Gambar 3. Telur Cumi-cumi (Aras, 2008)
Telur-telur yang
telah dibuahi akan dikeluarkan satu per satu atau dalam kapsul-kapsul gelatin
kemudian diletakkan atau ditempelkan pada karang, batu-batuan, ganggang, rumput
laut atau benda lainnya. Telur cumi-cumi saling melekat hingga menyerupai untaian buah
anggur. Pelindung tambahan gelatin yang membungkus masing-masing telur tadi
akan mengeras saat bersentuhan dengan air laut Telur-telur diletakkan
berserakan atau berkelompok dalam
untaian kemudian akan menetas setelah enam minggu atau lebih. Diameter telur antara 0,8–20 mm dan jumlahnya
bervariasi sekitar 60 butir atau lebih dalam satu kelompok. Cumi-cumi tidak
mengenal tahap kehidupan sebagai larva,
dimana setelah telur menetas bentuknya seperti induknya (Roper, et al. 1984).
Cumi-cumi meletakkan telur dalam
tumpukan yang dibungkus jelly atau kapsul yang memiliki bentuk menyerupai
gulungan spiral. Jumlah minimum telur
pada setiap kapsul yang ditemukan pada Sepioteuthis lesoniana adalah dua butir. Jumlah telur normal pada
setiap kapsul adalah tiga atau lebih setiap kapsul (Segawa, 1987 dalam Aras, 2008).
F. Atraktor
Cumi-Cumi
Salah
satu alat bantu penangkapan ikan yang telah dikenal masyarakat nelayan sebagai alat
pemikat ikan adalah rumpon atau biasa disebut juga atraktor. Alat ini
tersusun dari beberapa komponen, antara lain rakit, atraktor, tali rumpon, dan
jangkar Samples dan Sproul
(1985) dalam Tadjuddah (2009) menyatakan bahwa tertariknya ikan yang
berada di sekitar rumpon disebabkan karena: Rumpon
sebagai tempat berteduh (shading place) bagi beberapa jenis ikan
tertentu; Rumpon sebagai tempat mencari makan (feeding
ground) bagi ikan-ikan tertentu; Rumpon sebagai substrat untuk meletakkan telurnya bagi
ikan-ikan tertentu; Rumpon sebagai tempat ber-lindung dari predator bagi
ikan-ikan tertentu; Rumpon sebagai tempat titik acuan navigasi (meeting
point) bagi ikan-ikan tertentu yang beruaya.
Von Brandt (1984),
menyatakan
bahwa metode yang
sangat sederhana untuk memikat cumi-cumi untuk meletakkan telurnya adalah
dengan menenggelamkan ranting pohon ke dalam perairan.
Atraktor cumi-cumi
merupakan jenis rumpon yang dibuat dengan konstruksi yang sangat sederhana,
yaitu berbentuk seperti bunga dengan diameter 120 cm dan tinggi 35 cm, terbuat
dari bahan kawat, plastik atau besi yang
tidak mudah berkarat. Agar cumi-cumi betah berada di dalam atraktor, ditempatkan
serabut-serabut dari tali agar mirip tumbuhan laut sebagai tempat cumi-cumi meletakkan
telurnya dan pada bagian atasnya
ditutupi lembaran plastik hitam (warna gelap) dimaksudkan agar cahaya
matahari tidak menembus pada tempat cumi-cumi
akan melepaskan telurnya
(Baskoro, 2007). Lebih lanjut dijelaskan bahwa
pemasangan atraktor cumi-cumi dalam perairan menggunakan sistem long line. Dalam satu unit
terdiri dari 10 buah atraktor yang dipasang memanjang diletakkan di dasar
perairan sekitar terumbu karang dengan kondisi perairan yang jernih dan arus
yang tidak terlalu kuat,
kedalaman 5–7 meter dari permukaan laut. Biasanya sekitar satu bulan pasca
diletakkan atraktor, baru terlihat ada telur cumi-cumi di alat tersebut dan
akhirnya akan menetas dan menjadi cumi-cumi baru yang siap menjadi dewasa. Beberapa bentuk atraktor cumi-cumi
terlihat pada Gambar 4 Dibawah ini.
|
|
|
Keterangan:
A.
Bahan
Dasar dari Ban Bekas
B.
Bahan
Dasar Kawat Galvanisir
C.
Bahan
Dasar Bambu
Gambar
4. Atraktor Cumi-cumi dari Berbagai Bahan Dasar (http://www.kp3k.dkp.go.id/ttg/detaildttg/109/
atraktor-cumi-cumi).
G. Penangkapan Cumi-cumi
Jenis cumi-cumi yang banyak tertangkap diperairan
Indonesia (Paparan Sunda, Selat Makassar, Laut Flores, Laut Sulawesi,
Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda dan Laut Arafura) adalah Loligo edulis, L.
sinensis, L. duvaucelii, L.
singhalensis, L. ujii, Sepiteuthis lessoniana, dan Nototodarus philippi-nensis (Mallawa, 2006).
Tallo (2006) menjelaskan bahwa
penangkapan cumi-cumi yang paling intensif adalah pada musin memijah dimana
cumi-cumi yang tertangkap sebagian besar telah matang gonad. Akibat
penangkapan yang berlebih tanpa
memperhatikan faktor biologi dan ekologi maka kesempatan cumi-cumi untuk berkembang
biak sangat terbatas.
Pemanfaatan sumberdaya
perikanan cumi-cumi
melalui kegiatan
penangkapan sudah saatnya disertai
upaya pengaturan penangkapan dan kegiatan budidaya yang meliputi upaya
pemijahan (hatchery) dan pelepasan
benih ke alam. Upaya ini
dapat memperbaiki kerusakan sumberdaya cumi-cumi karena
dapat di lakukan pengkayaan stok untuk
memperbaiki dan mempertahankan
kelestarian sumberdaya
cumi-cumi. Salah satu faktor yang
sangat penting untuk mendukung upaya budidaya cumi-cumi adalah adanya ketersediaan telur dan
keberhasilan pemijahan
(Tallo,2006).
H. Kerangka
Pikir
Gambar 5. Lay Out Kerangka Pikir
Penelitian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar