Sabtu, 19 November 2016

atraktor cumi-cumi

BAB II.
TINJAUAN PUSTAKA
A.   Klasifikasi dan Morfologi Cumi-Cumi

Cumi-cumi termasuk kedalam Phylum Mollusca, Cuvier 1798, Class Cepha-lopoda, Schneider 1784, Sub-class Coleoidea, E. W. Berry 1928, Order Teuthoidea, Naef 1928,  Suborder Myopsida, d'Orbigny 1845, Family Loliginidae, d'Orbigny 1845. Ordo Theuthoidea merupakan ordo terbesar dari Chepalopoda, terdiri dari 25 suku tetapi hanya empat suku yang mempunyai nilai ekonomi, yaitu suku Loliginidae, Omastrephidae, Onychoteuthidae dan Thysanoteuthidae. Dari suku Loliginidae ada delapan marga, tetapi hanya tiga marga yang bernilai ekonomis, yaitu: Loligo, Sepioteuthis dan Uroteuthis. Dari ketiga marga yang tersebut di atas terdapat lima jenis yang bernilai ekonomis, yaitu: Loligo duvauceli, Loligo edulis, Loligo singhalensis, Sepeteuthis lessoniana dan Uroteuthis bartsschi, sedangkan tiga suku lainya masing-masing mempunyai satu jenis yang bernilai ekonomis,  Onytchotethis banksi, Symplectoteuthis oualanienis dan Thysanoteuthis rhombus
 







Gambar 1.  Keluarga Chepalopoda
Karakteristik khusus yang dimiliki cumi-cumi adalah adanya tinta yang terdapat di atas usus besar dan bermuara didekat anus. Bila cumi-cumi diserang musuhnya, kantong tinta akan berkontraksi dan mengeluarkan cairan berwarna hitam gelap melalui pipa ini. Hal ini menyebabkan terbentunya awan hitam disekelilingnya yang memungkinkan cumi-cumi terhindar dari serangan. Cairan yang berwarna hitam yang dikeluarkan mengandung butir-butir melanin (Jacobson, 2005).
          Lebih lanjut Jacobson (2005) mengemukakan bahwa secara morfologi tubuh cumi relatif panjang, langsing dan bagian belakang meruncing (rhomboidal). Tubuh cumi-cumi dibedakan atas kepala, leher dan badan.  Kepala terletak di bagian ventral,  memiliki dua mata yang besar dan tidak berkelopak, berfungsi sebagai alat untuk melihat, mempunyai pandangan mata yang sangat bagus.  Leher pendek dan badan berbentuk tabung dengan sirip lateral berbentuk segitiga di setiap sisinya.  Pada kepala terdapat mulut yang dikelilingi oleh empat pasang tangan dan sepasang tentakel (8 tangan dan 2 tentakel panjang).  Pada permukaan dalam tangan dan tentakel terdapat batil isap yang berbentuk mangkok terletak pada ujung tentakel. Gigi khitin atau kait terletak pada tepi batil isap untuk memperkuat melekatnya mangsa yang diperolehnya.  Pada posterior kepala terdapat sifon atau corong berotot yang berfungsi sebagai kemudi. Jika ia ingin bergerak ke belakang, sifon akan menyemburkan air ke arah depan, sehingga tubuhnya bertolak ke belakang. Sedangkan gerakan maju ke depan menggunakan sirip dan tentakelnya. Di bagian perut, tepatnya pada sifon akan ditemukan cairan tinta berwarna hitam yang mengandung pigmen melanin. Fungsinya untuk melindungi diri. Jika dalam keadaan bahaya cumi-cumi menyemprotkan tinta hitam ke luar sehingga air menjadi keruh. Pada saat itu cumi-cumi dapat meloloskan diri dari lawan.  Pada anterior badan terdapat endoskeleton.  Sistem skeletal terdiri atas endoskeleton yang berbentuk pen atau bulu dan beberapa tulang rawan. Beberapa tulang rawan tersebut membentuk artikulasi untuk sifon dan mantel, yang lain melindungi ganglia dan menyokong mata. Endoskeleton yang berbentuk pen tersebut homolog dengan cangkang pada Mollusca lain. Pada Loligo endoskeleton tersebut (cangkang) terletak di dalam rongga mantel berwarna putih transparan, tipis dan terbuat dari bahan kitin. Mantel berwarna putih dengan bintik-bintik merah ungu sampai kehitaman dan diselubungi selaput tipis berlendir.  Selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Anatomi Cumi-cumi

Sistem saraf yang berkembang baik yang dipusatkan dikepala, berenang dengan cepat, menunjukkan emosi, berubah warna dengan cepat dengan kromatofor, dan dapat merayap di dasar atau berenang didekat dasar. Kelompok hewan ini ber-badan lunak dan tidak mempunyai cangkang yang tebal, mantelnya menyelimuti sekeliling tubuhnya  membentuk kerah yang agak longgar pada bagian leher. Jenis yang paling umum dijumpai adalah antara lain cumi-cumi (Loligo vulgaris) dengan tubuh yang langsing. Kerangkanya tipis dan bening yang terdapat didalam tubuhnya. (Nontji. 2002). 
B.   Habitat dan Tingkah Laku
Pada umumnya cumi-cumi ditemukan pada daerah pantai dan paparan benua hingga kedalaman 400 meter. Beberapa spesies cumi-cumi hidup sampai di perairan payau. Cumi-cumi digolongkan sebagai organisme pelagik, tetapi kadang-kadang digolongkan sebagai organisme demersal karena sering berada di dasar perairan. Cumi-cumi melakukan pergerakan diurnal, yaitu pada siang hari akan berkelompok didekat dasar perairan dan akan menyebar pada daerah permukaan pada malam hari (Brodziak, 1999 dalam Tallo, 2006).
Cumi-cumi tergolong hewan pemakan daging (karnivora) oleh sebab itu semua biota laut yang bisa masuk mulutnya akan dimakan seperti kerang, ikan dan hewan laut lainnya. Cumi-cumi menangkap mangsanya dengan menggunakan jari-jarinya  yang mempunyai mangkok pengisap, giginya menyerupai paruh betet yang tajam. Cumi-cumi ada yang hidup dilaut dalam dan ukurannya sangat besar (Baskoro 2007).
Cumi-cumi sangat terbantu selama berburu dengan adanya alat peraba (tentakel) pada mulutnya.  Tentakel yang seperti cambuk ini biasanya tetap tergulung dalam kantung yang terletak di bawah lengan-lengannya.  Ketika menemukan mangsa, cumi-cumi menjulurkan tentakel untuk menyergapnya. Makhluk ini bergantung pada lengan-lengannya yang jumlahnya delapan.  Ia mampu dengan mudah mencabik-cabik seekor kepiting menjadi serpihan kecil dengan menggunakan paruhnya. Cumi-cumi menggunakan paruhnya dengan begitu terampil sehingga mampu dengan baik melubangi kulit cangkang kepiting dan mengeluarkan dagingnya dengan lidah.
C.   Reproduksi dan Siklus Hidup
Cumi-cumi berproduksi secara seksual. Cumi-cumi betina mengeluarkan ba-nyak benang telur ke dalam air, sedangkan yang jantan mengeluarkan sperma.  Cumi-cumi mempunyai sifat dimorfil seksual, yaitu perbedaan morfologi antara betina dan jantan. Perbedaan yang umum adalah cumi-cumi betina lebih besar dari pada cumi-cumi jantan.  Perbedaan kelamin  juga dapat dilihat bahwa pada jantan lengan empat berubah menjadi alat kopulasi yang disebut hektokotil yang berfungsi menyalurkan sperma ke betina. Ketika melakukan kopulasi, hektokotil telah berisi sperma dan di-masukkan ke dalam rongga mantel betina kemudian sperma akan membuahi telur-telur pada cumi-cumi betina. Sebelum melakukan kopulasi cumi-cumi jantan akan mengambil sperma dari alat genitalianya. Sperma akan dikemas dalam tabung khitin, yang dinamakan spermatofor yang ukurannya sekitar 10–15 mm. Dalam satu hari jantan dapat memproduksi kurang lebih 12 spermatofor (Roper et al.1984).
Di bawah kulit cumi-cumi tersusun sebuah lapisan padat kantung-kantung pewarna lentur yang disebut kromatofora. Dengan menggunakan lapisan ini, cumi-cumi dapat mengubah penampakan warna kulitnya yang tidak hanya membantu dalam penyamaran akan tetapi juga sebagai sarana komunikasi.  Seekor cumi-cumi jantan menunjukkan warna yang berbeda ketika kawin dengan warna yang digunakan ketika menghadapi musuhnya. Saat cumi-cumi jantan bercumbu dengan cumi-cumi betina, kulitnya berwarna kebiruan. Jika jantan lain datang mendekat pada waktu ini, ia menampakkan warna kemerahan pada separuh tubuhnya yang terlihat oleh jantan yang datang itu.  Merah adalah warna peringatan yang digunakan saat menantang atau melakukan serangan (Roper et al.1984).
Terdapat pula rancangan sempurna pada sistem perkembangbiakan cumi-cumi. Telurnya memiliki permukaan lengket yang memungkinkannya menempel pada rongga-rongga di kedalaman lautan. Janin yang ada dalam telur memakan sari makanan yang telah tersedia dalam telur tersebut hingga siap menetas. Janin ini memecah selubung telur dengan cabang kecil mirip sikat pada bagian ekornya. Setiap seluk beluknya telah dirancang dan bekerja sebagaimana direncanakan. Seekor induk cumi-cumi rata-rata mampu menghasilkan sekitar 500 butir telur (Baskoro, 2007).
Menurut Summers (1971); Lange (1982) dalam Jacobson (2005), cumi-cumi mempunyai jangka waktu hidup 1–2 tahun.  Brodziak dan Macy (1996) melakukan pengukuran pertumbuhan cumi-cumi dengan metode statolith diperoleh bahwa umur kurang dari satu  tahun ukurannya dapat mencapai sekitar 40–50 cm, tetapi sebagian besar masih kurang dari 30 cm.  Selanjutnya masa hidup cumi-cumi hanya 6–9 bulan (Yang et al. 1983; Jackson,1994; dan Jackson, 2003 dalam Hanlon, at.al. 2004).
D.    Populasi dan Distribusi
Populasi cumi-cumi semakin hari kian terancam keberadaanya, mengingat kini makin meningkat intensitas pencemaran dan kerusakan lingkungan di laut. Hal ini tentu saja akan berpengaruh terhadap ekosistem laut terutama cumi-cumi yang ter-golong hewan yang amat peka terhadap pencemaran. Sedikit saja terjadi perbedaan kualitas air akan menghindar dari kawasan perairan tersebut, selain itu cumi-cumi juga tidak bisa kawin kalau bukan pada habitat aslinya,  sehingga sulit untuk dibudidaya-kan  (Baskoro, 2008).
Menurut Soewito (1990) dalam Aras (2008), cumi-cumi menghuni perairan dengan suhu antara 8–32 ºC dan salinitas 8,5–30‰. Terjadinya kelimpahan cumi-cumi ditunjang oleh adanya zat hara yang terbawa arus (run off) dari daratan.  Zat hara tersebut dimanfaatkan oleh zooplankton, juvenile ikan ataupun ikan-ikan kecil yang merupakan makanan cumi-cumi.
Cumi-cumi pada siang hari berada didasar perairan, pada malam hari cumi-cumi bergerak ke permukaan air.  Cumi-cumi biasanya bermigrasi secara bergerombol (Scooling).  Cumi-cumi sangat berasosiasi dengan faktor lingkungan seperti salinitas, suhu dan kedalaman perairan.  Kedalaman perairan berpengaruh terhadap keberadaan cumi-cumi (Brodziad and Hendrickson, 1999 dalam Tallo, 2006).
Migrasi harian cumi-cumi dipengaruhi pula oleh kehadiran predator dan pe-nyebaran makanan.  Cumi-cumi dewasa pada umumnya bermigrasi ke daerah pemijahan secara bergerombol. Genus Ommastrphid diketahui memijah di daerah lepas pantai, sedangkan Loligonid memijah di dekat pantai (in shore).  Pada waktu bermigrasi ke daerah dekat pantai untuk memijah, cumi-cumi jantan dari genus Loligo tiba lebih dahulu di pantai dari betina. Cumi-cumi akan segera meninggalkan suatu lingkungan perairan yang tercemar dan mencari perairan yang lebih baik (Sauer et.al, 1999 dalam Tallo, 2006).
E.   Kapsul Telur
Istilah kapsul telur dimana di dalamnya terdapat telur-telur sering disebut dalam menjelaskan perkembangan embrio. Kapsul pada mulanya disebut chorion yang merupakan sekresi dari folikel selama tahap akhir oogenesis.  Telur yang telah matang  dan  bebas  dari  jaringan  folikel, dikeluarkan  melalui  saluran  telur  dengan  cara satu persatu atau berturut-turut dalam satu  rangkaian yang berisi beberapa telur  pada satu kali pelepasan telur (Boletzky, 1977; Segawa, 1987 dalam Aras, 2008).  Telur cumi-cumi yang ditempelkan umumnya berkumpul membentuk koloni.  Adapun bentuk telur cumi-cumi ditampilkan pada Gambar 3. dapat mencapai 10 sampai 275 kapsul
  




Gambar 3.  Telur Cumi-cumi (Aras, 2008)


Telur-telur yang telah dibuahi akan dikeluarkan satu per satu atau dalam kapsul-kapsul gelatin kemudian diletakkan atau ditempelkan pada karang, batu-batuan, ganggang, rumput laut atau benda lainnya. Telur cumi-cumi saling melekat hingga menyerupai untaian buah anggur. Pelindung tambahan gelatin yang membungkus masing-masing telur tadi akan mengeras saat bersentuhan dengan air laut Telur-telur diletakkan berserakan atau berkelompok  dalam untaian kemudian akan menetas setelah enam minggu atau  lebih. Diameter telur antara 0,8–20 mm dan jumlahnya bervariasi sekitar 60 butir atau lebih dalam satu kelompok. Cumi-cumi tidak mengenal tahap kehidupan sebagai larva,  dimana setelah telur menetas bentuknya seperti induknya (Roper, et al. 1984).
Cumi-cumi meletakkan telur dalam tumpukan yang dibungkus jelly atau kapsul yang memiliki bentuk menyerupai gulungan spiral. Jumlah minimum telur  pada setiap kapsul yang ditemukan pada Sepioteuthis lesoniana adalah dua butir. Jumlah telur normal pada setiap kapsul adalah tiga atau lebih setiap kapsul (Segawa, 1987 dalam Aras, 2008).
F.     Atraktor Cumi-Cumi
Salah satu alat bantu penangkapan ikan yang telah dikenal masyarakat nelayan sebagai alat pemikat ikan adalah rumpon atau biasa disebut juga atraktor. Alat ini tersusun dari beberapa komponen, antara lain rakit, atraktor, tali rumpon, dan jangkar Samples dan Sproul (1985) dalam Tadjuddah (2009) menyatakan bahwa tertariknya ikan yang berada di sekitar rumpon disebabkan karena: Rumpon sebagai tempat berteduh (shading place) bagi beberapa jenis ikan tertentu; Rumpon sebagai tempat mencari makan (feeding ground) bagi ikan-ikan tertentu; Rumpon sebagai substrat untuk meletakkan telurnya bagi ikan-ikan tertentu; Rumpon sebagai tempat ber-lindung dari predator bagi ikan-ikan tertentu; Rumpon sebagai tempat titik acuan navigasi (meeting point) bagi ikan-ikan tertentu yang beruaya.
 Von Brandt (1984), menyatakan bahwa metode yang sangat sederhana untuk memikat cumi-cumi untuk meletakkan telurnya adalah dengan menenggelamkan ranting pohon ke dalam perairan.
Atraktor cumi-cumi merupakan jenis rumpon yang dibuat dengan konstruksi yang sangat sederhana, yaitu berbentuk seperti bunga dengan diameter 120 cm dan tinggi 35 cm, terbuat dari  bahan kawat, plastik atau besi yang tidak mudah berkarat. Agar cumi-cumi betah berada di dalam atraktor, ditempatkan serabut-serabut dari tali agar mirip tumbuhan laut sebagai tempat cumi-cumi meletakkan telurnya dan pada bagian atasnya ditutupi lembaran plastik hitam (warna gelap) dimaksudkan agar cahaya matahari tidak menembus pada tempat cumi-cumi akan melepaskan telurnya (Baskoro, 2007).  Lebih lanjut dijelaskan bahwa pemasangan atraktor cumi-cumi dalam perairan menggunakan sistem long line. Dalam satu unit terdiri dari 10 buah atraktor yang dipasang memanjang diletakkan di dasar perairan sekitar terumbu karang dengan kondisi perairan yang jernih dan arus yang tidak terlalu kuat, kedalaman 5–7 meter dari permukaan laut. Biasanya sekitar satu bulan pasca diletakkan atraktor, baru terlihat ada telur cumi-cumi di alat tersebut dan akhirnya akan menetas dan menjadi cumi-cumi baru yang siap menjadi dewasa. Beberapa bentuk atraktor cumi-cumi terlihat pada Gambar 4 Dibawah ini.

B
 
A
 


C
 
Keterangan:    
A.   Bahan Dasar dari Ban Bekas
B.   Bahan Dasar Kawat Galvanisir
C.   Bahan Dasar Bambu
Gambar 4.  Atraktor Cumi-cumi dari Berbagai Bahan Dasar (http://www.kp3k.dkp.go.id/ttg/detaildttg/109/ atraktor-cumi-cumi).


G.    Penangkapan Cumi-cumi
Jenis cumi-cumi yang banyak tertangkap diperairan Indonesia (Paparan Sunda, Selat Makassar, Laut Flores, Laut Sulawesi, Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda dan Laut Arafura) adalah Loligo edulis, L. sinensis, L. duvaucelii, L. singhalensis, L. ujii, Sepiteuthis lessoniana, dan Nototodarus philippi-nensis (Mallawa, 2006).
Tallo (2006) menjelaskan bahwa penangkapan cumi-cumi yang paling intensif adalah pada musin memijah dimana cumi-cumi yang tertangkap sebagian besar telah matang gonad. Akibat penangkapan yang berlebih  tanpa memperhatikan faktor biologi dan ekologi  maka kesempatan cumi-cumi untuk berkembang biak sangat terbatas.
Pemanfaatan sumberdaya perikanan cumi-cumi melalui kegiatan penangkapan  sudah saatnya disertai upaya pengaturan penangkapan dan kegiatan budidaya yang meliputi upaya pemijahan (hatchery) dan pelepasan benih ke alam.  Upaya  ini  dapat  memperbaiki kerusakan sumberdaya cumi-cumi karena dapat di lakukan pengkayaan  stok untuk memperbaiki dan mempertahankan kelestarian sumberdaya cumi-cumi.  Salah satu faktor yang sangat penting untuk mendukung upaya budidaya cumi-cumi   adalah adanya ketersediaan telur dan keberhasilan pemijahan (Tallo,2006).
H.   Kerangka Pikir
  

Gambar 5. Lay Out Kerangka Pikir Penelitian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar