Sabtu, 19 November 2016

atraktor cumi-cumi

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Keadaan Umum Wilayah Penelitian
Pulau Pute Anging adalah sebuah  pulau kecil di wilayah kabupaten Barru bagian Selatan, tepatnya di desa  Lasitae kecamatan Tanete Rilau.. Pute anging terletak  ±3 mil sebelah Barat dari pelabuhan Perikanan Polejiwa Pekkae Kabupaten Barru (Gambar 7)

Gambar 7. Pulau Pute Anging
Pulau ini dikelilingi batu karang dan sedikit padang lamun mulai dari Selatan ke Utara melalui Barat,  sedangkan pada bagian Timur sedikit kearah Selatan dan Utara  berpasir campur karang  pasir.  Pada bagian  ini juga  penduduk daerah ini membangun dermaga  Pute Anging dan  aktivitas tambat kapal/perahu  para nelayan.
Daerah penangkapan cumi-cumi yang paling  potensial  pada bagian Utara dan  Selatan Barat Daya.  Bagian  Utara  perairannya  agak landai banyak hidup buluh babi, teripang  dan hewan laut lainnya, berkarang tapi sebagian besar telah hancur. Banyak ditumbuhi tumbuhan lamun. Pada bagian Timur dasar perairan sedikit curam dengan dasar berpasir sedikit lumpur  (ada  dermaga Pute Anging).  Di atas dermaga  nelayan sering melakukan  pemancingan  cumi-cumi.  Waktu penangkapan cumi-cumi dilakukan  nelayan  pada pagi dan sore hari dengan menggunakan pancing ulur. Jenis cumi-cumi yang tertangkap adalah cumi-cumi yang berkulit tebal (Sepioteuthis lessoniana)
Lokasi penelitian berada sebelah Selatan dermaga kira-kira 50 meter dari dermaga pada titik koordinat 04° 29' 13" Lintang Selatan dan 119° 34' 23" Bujur Timur.  Keadaan fisik lokasi adalah :  1)  Airnya  jernih, pada kedalaman tiga  meter dasar perairan masih tampak dengan jelas, 2) berpasir  dan sedikit lumpur campur  pecahan karang  (rubble) , 3) sering ditemukan telur cumi-cumi, 4) Kecepatan arus tidak melebihi 0,5 knot, 5) bukan daerah penangkapan ikan.  Baskoro (2011) menjelaskan bahwa persyaratan untuk lokasi pemasangan atraktor cumi-cumi adalah :

1. Tidak keruh (jernih),
2. Dasar perairan tidak berlumpur (pasir atau karang campur pasir),
3. Kedalaman perairan 3 – 7 meter,
4. Kecepatan arus tidak lebih dari 0,5 knot dan
5. Daerah migrasi cumi-cumi.
Keadaan fisik lokasi tersebut memenuhi persyaratan untuk pemasangan atraktor cumi-cumi  dan pengembangan selanjutnya. Denah situasi Pulau pute anging dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Denah Situasi Pulau Pute Anging

B. Parameter Oseonografi
Parameter oseonografi yang diukur pada saat penelitian adalah  suhu, salinitas, kecerahan dan kecepatan arus permukaan  tempat dimana atraktor dipasang. Keadaan oseonografi perairan pada saat itu antara lain :  suhu terendah dan tertinggi  adalah   29,5 dan 31,9°C, rataan suhu  pada pagi dan sore hari masing-masing  29,84 dan  31,03°C.  Salinitas 28,5 dan 33‰,  rataan salinitas pada waktu pagi dan sore hari adalah 30,46 dan 31,15‰.  Kecerahan 3,5 dan 5,5 meter, rataan kecerahan pagi dan sore hari adalah 4,36 dan 3,88 meter. Kecepatan arus 1 dan 22 cm/detik, rataan  6 dan 9 cm/detik.  Keadaan parameter oseonografi dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2.
Tabel 1. Parameter Oseonografi Pagi dan Sore Hari

Parameter Oseonografi

Pagi
Sore
Range

Suhu (°C)

29,1 – 30,0
30,3 – 31,9

29,1 – 31,9

Salinitas (‰)

28,5 – 32,0
29 – 33
28,5 – 33,0

Kecerahan (m)

3,5 -5,5
3,5 – 5,0
3,5 - 5

Arus (cm/det)

1 - 20
1 – 22
1 - 22




 Tabel 2.  Rataan  Parameter Oseonografi

Parameter Oseonografi

Suhu (°C)

Salinitas (‰)

Kecerahan (m)

Arus (cm/det)


Pagi

29,84
30,46

4,36
6

Sore

31,03
31,15
3,33
9

Parameter oseonografi seperti suhu yang relatif stabil, salinitas dan kecerahan telah memenuhi persyaratan kehidupan cumi-cumi, sehingga tidak mengganggu aktivitas pemijahan cumi-cumi pada lokasi ini. Toleransi Cephalopoda terhadap suhu bersifat spesifik pada setiap spesies dengan kecenderungan memiliki kisaran yang lebar, sebaliknya terhadap salinitas sangat terbatas karena hampir seluruhnya bersifat stenohalin (kecuali Lolliguncula spp), Namun demikian kebanyakan spesies dapat hidup dengan layak pada kisaran salinitas 27 - 38‰ Boletzky dan Hanlon (1983) dalam Syarifuddin (2002). Nabhitabata (1996) mengatakan bahwa parameter oseonografi bagi kehidupan chepalopoda adalah : oksigen terlarut : > 5mg/liter, salinitas 25-35 ‰, suhu 28 – 32°C, pH 7-8.5, jarak pandang sebaik mungkin. Cumi-cumi yang berkulit tebal (Sepioteutis lessoniana) dapat mentolirir perairan yang memiliki salinitas pada  kisaran 21,8 – 36,6‰. Parameter oseonografi untuk perairan tropis, suhu 25 – 32 derajat Celcius , Salinitas 30 - 34 ‰. Oksigen terlarut 6 - 8 mg/liter dan pH 7-8.  Parameter seperti suhu dan salinitas merupakan faktor pembatas di laut, Nybakken (1988).
Pengamatan performance atraktor cumi-cumi terhadap faktor oseonografi antara lain yang paling berpengaruh adalah kecepatan arus, Arus perairan dapat  mempengaruhi suatu alat yang ada dalam  perairan.  Arus yang kuat dapat menggeser posisi atraktor sedikit demi sedikit ke arah kedalaman, sehingga atraktor meninggalkan posisinya, Berdasarkan data pengamatan selama 2 bulan, arah arus rata-rata dari arah Utara menuju ke Selatan dengan  kecepatan arus tertinggi adalah  22 cm/detik (0,4 knot). Kecepatan arus ini masih memenuhi persyaratan untuk lokasi penempatan atraktor yang diisyaratkan  yaitu tidak lebih dari 0,5  knot,  Baskoro dkk, (2011).
C. Deskripsi Atraktor Cumi-Cumi
1. Desain dan Kontruksi Atraktor Cumi-cumi
a. Desain Atraktor Cumi-cumi
Desain atraktor cumi-cumi berbentuk kotak persegi dengan ukuran 100 x 100 x 40 cm. Desain ini memanfaatkan fungsi pelampung dengan pemberat, terbentuk karena adanya gaya tarik menarik antara pelampung dan pemberat. Desain ini juga dapat dilipat, dibongkar dan dipasang kembali untuk memudahkan dalam pengangkutan. Desain atraktor cumi-cumi sangat fleksibel dan dapat berbentuk model apa saja,  yang terpenting adalah dapat merangsang cumi-cumi untuk menempelkan telurnya. Tallo (2006), membuat atraktor cumi-cumi berbentuk kotak persegi dari bahan bambu, Baskoro dkk (2007), mendesain atraktor cumi-cumi berbentuk bunga mekar dari bahan besi harmonika dan yang berbentuk kotak  dari  ban bekas. Atraktor cumi-cumi yang dioperasikan di Pulau Bangka Belitung berbentuk bundar dan kotak dari bahan drum bekas dan kayu.
b. Kontruksi Atraktor Cumi-cumi
Bentuk sempurna atraktor cumi-cumi ini dapat dilihat setelah ditanam di dalam air, terbentuk karena adanya tekanan ke atas oleh beberapa pelampung terpasang dan daya tarik kebawah oleh beberapa pemberat terpasang.  Terbentuk menyerupai kotak dengan ukuran tertentu. Bagian-bagian sebuah atraktor adalah sebagai berikut :
1. Pelampung
a. Pelampung Tanda
Pelampung tanda berfungsi sebagai tanda dimana atraktor diletakkan, biasanya dilengkapi dengan simbol-simbol atau bendera  (Gambar 9).  Pelampung tanda terdiri dari pelampung, pemberat, tiang, dan bendera/simbol.
 b. Pelampung Atraktor Cumi-cumi
Pelampung atraktor terbuat dari bahan sterofoam yang dipadatkan, dipasang pada  setiap frame rope  dalam lubang pelampung yang tersedia, tepat dibawah penutup atraktor dan tidak terikat sehingga bebas bergerak dalam frame rope,  biasanya jenis pelampung ini memiliki lubang khusus untuk keperluan tersebut, Daya apung tiap pelampung antara 1300-1500 gram dengan ukuran 15 x 10 cm berbentuk lonjong (Gambar 9). Fungsi pelampung untuk mengangkat frame rope  agar atraktor terbentuk dengan baik. Terdapat banyak dipasaran dengan bermacam-macam bentuk dan ukuran.

Gambar 9. Pelampung Tanda dan Pelampung Atraktor

2. Frame Rope
Frame rope dibuat dari bahan tali PE (polyetheline) berdiameter 12 mm, 10 mm dan 8 mm yang berfungsi sebagai bingkai atraktor yang berbentuk kotak yang mempunyai 6 sisi dengan ukuran 40 x 100 x 100 cm.  Sisi-sisi vertikal (tiang) menggunakan tali PE yang lebih besar yaitu 12 mm, karena akan menahan gaya tarik antara pelampung dan pemberat, sedangkan sisi-sisi horizontalnya menggunakan tali PE yang lebih kecil yaitu 10 mm dan 8mm karena hanya sebagai pemberi bentuk. Pada frame rope yang di sisi atas dipergunakan pipa pralon berdiameter 1 inch yang dibuat kedap air sedangkan pada frame rope sisi bawah dipergunakan pipa pralon ½ inch yang tidak kedap air melainkan tali frame rope sisi bawah dimasukkan kedalam lubang pipa, (Gambar 10).


Keterangan gambar : A = Pipa penguat
                             B dan C = Frame rope

Gambar 10. Frame Rope dan Pipa Penguat

3. Penutup dan Rangka Penutup Atraktor
Penutup atraktor cumi-cumi berfungsi sebagai penghalang sinar matahari langsung, agar suasana dalam atraktor menjadi remang-remang. Penutup atraktor dari bahan karet berwarna hitam, tahan terhadap air.  Bahan material ini biasanya dipergunakan untuk pelapis atap genteng rumah, (Gambar 11 B). Ukuran penutup yang dipergunakan adalah 110 x 110 cm dan dipasang pada rangka penutup dari pipa pralon/PVC. Selain fungsinya sebagai rangka penguat  ia juga berfungsi sebagai pembuka atraktor secara horizontal, pelampung bantu dan tempat menggantungkan substrat pelekatan telur.    Rangka penutup dibuat kedap air dengan beberapa batang pipa pralon dan sambungan siku (L) dan T. (Sambungan L dan T masing-masing  4 buah) dibuat dengan bentuk persegi panjang dengan ukuran 100 x 100 sentimeter (Gambar 11 A dan C).

Gambar 11. Penutup dan Rangka Penutup
          4. Pemberat
Pemberat berfungsi menenggelamkan frame rope bawah. Pemberat  yang dipergunakan terbuat dari bahan semen cor bertulang dengan berat antara 3000-4000 gram sebanyak 4 buah. Pemberat diikatkan pada sambungan mata yang tersedia pada frame rope. Gambar 12 memperlihatkan pemberat yang dipergunakan pada atraktor cumi-cumi.



Gambar 12. Pemberat.

          5.  Media Pelekatan Telur (Substrat)
Media pelekatan telur adalah merupakan material tempat cumi-cumi menempelkan telur dalam atraktor cumi-cumi. Media pelekatan telur dibuat dalam 4 jenis material yang berbeda di antaranya adalah :
a. Substrat plastik tebal dengan ukuran 35 x 8 cm ketebalan 1,5 mm berwarna biru sebanyak 16 lembar, Gambar 13.1
b. Substrat papan tipis dengan ukuran 35 x 8 cm ketebalan 5 mm dari kayu ulin sebanyak 16 lembar, Gambar 13.2
c. Substrat  tali dengan ukuran 35 cm berdiamter 10 mm sebanyak 32 lembar Gambar 13.3
d. Substrat lembaran jaring dengan ukuran 50 x 8 mata,  mesh size 2 inch Gambar 13.4.

Gambar 13. Substrat Plastik 1), Substrat Papan 2), Substrat Tali 3), Substrat Lembaran Jaring 4). Tampak dari Samping.

6. Tali Jangkar/Tali Pelampung/Tali Penghubung Antar Atraktor.
Atraktor dapat disambung satu dengan yang lainnya dengan menggunakan tali penghubung. Tali ini juga dapat berfungsi sebagai tali jangkar atau tali pelampung tanda. Jenis tali yang dipergunakan adalah Tali PE berdiameter 10 mm dengan panjang 10 meter.
7. Jangkar
Jenis jangkar yang digunakan adalah jangkar  pasir/lumpur yang  berat 10 kg. Berfungsi untuk menahan atraktor agar tetap diposisinya jika terjadi  arus yang kuat.
8. Prosedur Pembuatan Atraktor Cumi-cumi
a. Mula-mula yang harus dibuat terlebih dahulu adalah frame rope atraktor (tiang utama) yang kedua ujungnya bersimpul mata
b. Pembuatan simpul mata dengan melipat ujung tali sesuai ukuran simpul yang diinginkan (ukuran simpul mata 5 cm), kemudian dililit dengan tali (monofilament)
c. Sebelum menyelesaikan simpul mata yang kedua, frame rope ini dimasukkan kedalam lubang pelampung atraktor.
d. Kemudian perakitan frame rope atas dan mengikatnya pada tiang utama tepat dileher sambungan mata.
e. Frame rope bawah  diikatkan di tiang utama dibagian bawah,
f. Pemasangan penutup atraktor diikatkan pada frame rope bagian atas.
g. Tali penggantung atraktor diikat secara diagonal pada sambungan mata pada frame rope di bagian atas.
h. Selanjutnya atraktor digantung untuk memudahkan pemasangan pemberat.
i. Pemasangan tali-temali (tali pelampung tanda, tali jangkar, tali penghubung) sesuai kebutuhan. Selanjutnya atraktor siap untuk dioperasikan.
Ilustrasi pembuatan atraktor dapat dilihat pada daftar lampiran 4 dan bagian-bagian satu unit atraktor dapat dilihat pada Gambar 14.
Bahan dan material yang dipergunakan didalam pembuatan atraktor cumi-cumi adalah bahan-bahan yang mudah didapatkan dan tersedia banyak dipasaran dengan harga yang terjangkau. Jenis bahan, spesifikasi bahan, dimensi dan jumlah bahan pembuat atraktor cumi-cumi dapat dilihat pada daftar Lampiran 3.


Keterangan gambar :
A : Tali pelampung tanda/penghubung/jangkar
B : Tali penggantung
C : Penutup Atraktor
D : Rangka Penutup
E : Pelampung Atraktor
F,H : Frame rope (bingkai atraktor)
G : Substrat Tali (media pelekatan telur)
 I  : Pemberat.

Gambar 14. Bagian-bagian Sebuah Atraktor Cumi-cumi.
2. Pengoperasian Atraktor Cumi-cumi
Atraktor cumi-cumi dioperasikan pada kedalaman 3-4 meter dari permukaan air laut. Penurunan atraktor berturut-turut dimulai dengan menurunkan  pelampung tanda, atraktor 1, 2, 3, 4 dan jangkar. Kegiatan tersebut dapat dilihat pada Gambar 15. Atraktor cumi-cumi saling terikat dengan yang lainnya dan ditempatkan berdekatan dengan jarak kurang lebih 1 meter.

Keterangan Gambar :
1 : Atraktor yang sudah jadi,
2 : Penurunan atraktor,
3 : Atraktor yang telah berada dalam air

Gambar 15.  Kegiatan Setting Atraktor Cumi-cumi 


D. Interaksi Organisme yang Berasosiasi pada Atraktor Cumi-cumi
1. Organisme Penempel pada Atraktor Cumi-cumi
Organisme penempel permanen pada atraktor cumi-cumi yang paling banyak dijumpai   adalah dari  jenis  alga,  teritip,  tiram, bunga
karang dan hewan lunak kecil lainnya. Organisme tersebut menempel hampir merata disemua bagian atraktor cumi-cumi dan menjadi makanan buat ikan-ikan kecil yang berasosiasi di atraktor cumi-cumi. Lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 16.  Atraktor cumi-cumi yang ditanam diperairan   setelah 6 - 8  bulan ditanam maka akan dihuni oleh berbagai macam biota laut seperti yang terjadi pada terumbu buatan (artificial reefs) www.pusluh.kkp.go.id /index. php/.../Atraktor_Cumi.pdf/,    sehingga Atraktor cumi-cumi tersebut dapat berfungsi sebagai cikal bakal  terumbu karang buatan.

Gambar 16. Organisme Menempel pada Atraktor Cumi-cumi.
2. Organisme yang berasosiasi pada Atraktor Cumi-cumi
Hampir semua ikan yang sering berada disekitar terumbu karang sering kita jumpai di sekitar atraktor. Ada jenis ikan yang berada dalam atraktor mencari makan, ada yang bermain dekat atraktor (ikan kuniran, ikan jenggot kuning, kakap,krot-krot, kurisi, kuro, dll. dan jenis ikan yang bermain agak jauh dari atraktor  termasuk jenis ikan balanak, kuniran, jenggot, julung-julung, ekor kuning kecil, dll.   Ikan yang berada dalam atraktor mencari makan termasuk ikan buntel, ikan pakol,  ikan-ikan hias laut, ikan kepe-kepe, ikan lepu, ikan glaga, dan lain-lain, Jenis ikan perusak telur cumi-cumi seperti ikan bayeman ijo,   (Thallasoma purpureum dan Thallasoma quenqeuvittatum) bale pello-pello bahasa daerah setempat  dan ikan Baluran (Cheilinius trilobatus, Lacepede, 1801) atau bale konnya-konnya bahasa daerah setempat. Ikan ini menggigit pangkal-pangkal telur yang tergantung sehingga telur-telur tersebut jatuh dan hanyut terbawa arus laut.  
Baskoro dkk,  (2011) menjelaskan bahwa atraktor cumi-cumi yang terpasang diperairan dapat berfungsi sebagai tempat pengasuhan dan pembesaran, berbagai jenis ikan mencari makan dan bermain disekitar atraktor sehingga dapat membentuk ekosistem baru pada waktu tertentu. Distribusi dan kecenderungan organisme yang berasosiasi pada Atraktor Cumi-cumi dapat dilihat pada Gambar 17 A dan B.

E. Efektifitas Media Pelekatan Telur
1. Jumlah Koloni Telur
Jumlah koloni telur  yang menempel pertama kali di dalam atraktor cumi-cumi ada 2  koloni masing-masing  koloni berjumlah  67 dan  51  polong  telur.  Berikutnya  berjumlah  4,  6,  1  dan  3  koloni.  

Keterangan Gambar :
1 : Ikan Kepe-kepe, 2 : Ikan Pakol, 3 : Ikan Buntal, 4 : Ikan Kuniran, 5 : Ikan Krot-krot, 6 : Ikan Kakap, 7 : Ikan Jenggot Kuning, 8 : Ikan Kurisi, 9 : Ikan Balanak,10: Ikan Julung-julung,11 : Ikan ekor kuning

 


Gambar 17. Distribusi dan Kecenderungan Keberadaan Organisme yang berasosiasi pada Atraktor Cumi-cumi (A),Tampak Beberapa Ikan-ikan Karang dan Ikan Kecil  di sekitar  Atraktor Cumi-cumi (B)


Jumlah  koloni telur dapat dilihat pada Tabel 3 dan Lampiran 1.  Pongsapan et al. (1995) dan Danakusumah et al. (1995) dalam Tallo (2006), masing-masing mengatakan bahwa jumlah telur yang dihasilkan dalam sekali memijah berkisar 78 - 408 polong telur dengan jumlah kapsul telur sebanyak 194 sampai 1350 butir dan jumlah polong  telur cumi-cumi berkisar 380 - 551 dengan jumlah kapsul telur  700 - 2241  butir,    setiap  polong berisi 1 sampai 6 kapsul telur.
Tabel 3. Jumlah Koloni Telur dalam Atraktor Cumi-cumi.

Hari ke
Jumlah Koloni pada Material Pelekatan Telur
Jumlah Polong

Plastik
Papan
Webbing
Tali

35 0 0 0 2 118

42 0 0 0 4 4

43 0 0 0 6 254

48 0 0 0 1 35

60 0 0 0 3 155

Jumlah
0 0 0 16 566

Di Tanzania, Mhitu, et.al. (1995), menemukan 180 - 1180 kapsul telur dengan rata-rata 680 kapsul telur per individu dan di Australia, Jantzen, et.al. (2003), menemukan 218 - 1922 kapsul telur dengan rata-rata 893,9 kapsul telur. Penelitian diperairan Pulau Bangka,  setiap atraktor cumi-cumi rata-rata berisi 234 polong telur  (820 kapsul telur http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul= Penelitian%20Rumpon%20Cumi%20Berhasil%20di%20Perairan%20Tuing,%20Pulau%20Bangka&&nomorurut_artikel=599. Tingkat fekunditas cumi-cumi tergantung kepada bobot tubuh dan panjang mantelnya, Syarifuddin (2002).
Media/substrat pelekatan telur yang dipilih oleh cumi-cumi di dalam melekatkan telur di dalam atraktor cumi-cumi adalah substrat tali, sedangkan substrat plastik, substrat papan dan substrat lembaran jaring tidak ditemukan telur yang melekat pada substrat tersebut. Kemungkinan disebabkan oleh kekuatan lekatan telur pada ketiga substrat tersebut kurang kuat sehingga telur-telur yang sempat dilekatkan jatuh dan terbawa oleh arus sebelum dilkukan pengamatan atau kemungkinan memang cumi-cumi tidak memilihnya disebabkan ada substrat yang lain yang memang sangat disukainya yaitu substrat tali.  Hal ini  disebabkan karena kebiasaan cumi-cumi pada saat akan menempelkan telurnya yaitu berdasarkan penglihatan dan rabaan sang induk pada susbtrat. Substrat yang paling disukai cumi-cumi adalah substrat yang berbentuk batangan atau tangkai-tangkai ranting kayu dan substrat yang berbentuk pita, ke 4 type substrat yang terpasang di atraktor hanya substrat tali yang meyerupai batangan dan kelihatan seperti tangkai ranting karena saling bertaut sehingga substrat ini dipilih oleh cumi-cumi untuk menempelkan telurnya. Substrat plastik menyerupai pita, akan tetapi kemungkinan dari segi ukuran atau permukaan yang licin sehingga tidak dipilih oleh cumi-cumi dan ada substrat yang lebih disukai. Substrat papan permukaan kasar akan tetapi tidak dipilih cumi-cumi, kemungkinan karena karena ukurannya yang agak besar dan adanya substrat yang lebih disukainya, sedangkan  substrat lembaran jaring kelihatan seperti tangkai-tangkai akan tetapi kemungkinan diameter tali yang digunakan terlalu kecil sehingga tidak dipilih oleh cumi-cumi berkulit tebal ini dan kemungkinan juga disebabkan oleh karena ada substrat yang lain yang lebih disukainya. Kemungkinan lain adalah bahwa cumi-cumi tetap memilih type substrat lainnya, namun karena kekuatan lekatnya kurang, maka koloni-koloni telur tersebut terjatuh sebelum pengambilan data. Tulak (2000), mengemukakan  bahwa substrat yang disukai cumi-cumi adalah sponge, bubu bambu, tali jangkar kapal, keramba  jaring apung, kerangka besi, jaring nelayan,  akan tetapi  yang paling disukainya  adalah yang menyerupai pita dan batang/ranting, bahan substrat tidak menjadi objek perhatian cumi-cumi, melainkan bentuk dan letak substrat. Letak substrat yang disukai cumi-cumi pada daerah yang agak remang-remang dan tersembunyi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa kemungkinan ada unsur keterpaksaan sehingga cumi-cumi memilih apa saja sebagai tempat untuk menempelkan telurnya.  Tallo (2006) dan Aras (2008) menemukan  cumi-cumi  melekatkan   telurnya  pada  atraktor cumi-cumi yang bersubstrat tali. Baskoro dkk (2011), membuat atraktor  cumi-cumi  dengan  substrat  pelekatan  telur  dari  bahan  tali rami. Atraktor cumi-cumi yang dioperasikan di Pulau Bangka, menggunakan substrat dari tali dan berhasil dengan baik.
2. Volume Koloni Telur pada Substrat.
Jumlah substrat tali yang terpasang di dalam atraktor 32 helai (Lampiran 5 B). Jumlah susbtrat yang ditempati  cumi-cumi  melekatkan  telur 13 helai   (46,6 %)  dan  ada  3  helai  substrat  yang   dipilih   cumi-cumi melekatkan telurnya   sebanyak  2 kali pelekatan telur  (2 koloni telur dalam 1 substrat) yaitu substrat nomor 14, 18 dan 19 yang masing-masing berisi 54 dan 35 koloni, 67 dan 39 koloni dan 60 dan 1 koloni telur. Substrat nomor 18 yang paling banyak berisi telur yaitu 106 polong telur (18,7 %) dari total jumlah polong telur.
3. Daya Tahan Koloni pada Substrat.
Telur cumi-cumi sirip besar berbentuk seperti kacang polong, berwarna putih dan transparan berlapis agar-agar yang melindungi telur. Satu koloni telur yang telah ditempelkan pada substrat kelihatan seperti  satu tandang buah anggur. MacGinitie dan Nettie 1949 dalam Tulak (2000), menyatakan bahwa kapsul-kapsul tersebut pada saat dikeluarkan berukuran kecil dan kemudian mengembang 2-3 kali ukuran awalnya dengan menyerap air dan memberi rongga pada setiap telur.
Koloni telur  cumi-cumi yang ditempelkan pada substrat tali mempunyai kekuatan lekat yang  kuat.  Namun  beberapa jenis ikan yang membuat telur-telur itu terlepas dari koloninya. Ikan-ikan ini menggigit pangkal-pangkal telur (tudung telur) yang melekat pada substrat sampai terlepas (Gambar 17),   ikan ini termasuk ikan-ikan karang dari jenis Bayeman ijo dan ikan Baluran  (Gambar 18).  Syarifuddin (2002), menjelaskan bahwa setelah telur-telur cumi-cumi dibuahi akan dikeluarkan satu per satu dalam kapsul-kapsul gelatin. Zat gelatin adalah zat yang melindungi telur dan tidak disukai oleh ikan. Alasan ikan-ikan ini menggigit pangkal-pangkal telur belum diketahui dengan pasti dan perlu  penelitian lebih lanjut.


Gambar 17. Koloni Telur dan Tudung Telur Cumi-cumi
 
Gambar 18. Ikan Bayeman Ijo Thallasoma quenqeuvittatum dan  Ikan Baluran Cheilinus trilobatus (Lacepede, 1801)
Daya tahan telur juga berpengaruh kepada pengangkatan atraktor di atas permukaan air laut,  ini terbukti pada telur yang pertama kali dilekatkan, banyak yang terpisah dari koloninya setelah diturunkan kembali. Hal ini sangat memungkinkan karena pada saat pengangkatan atraktor kepermukaan, telur-telur tersebut bergerak kesana   kemari   sehingga   daya   lekatnya   berkurang  dan  setelah diturunkan kembali polong-polong telur tersebut terangkat oleh tekanan air dan akhirnya terlepas dari koloninya.
F. Tingkah Laku dalam Pelekatan Telur
Keadaan  lingkungan laut sangat berpengaruh  kepada  pemijahan,  sehingga bila kondisi lingkungan laut belum sesuai, maka masa pemijahan dapat  ditunda  hingga  benar-benar sesuai.
Respon cumi-cumi terhadap atraktor yang terpasang diperairan adalah keinginan untuk mengetahui benda tersebut. Cumi-cumi sebelum melekatkan telurnya di atraktor (tempat yang baru) terlebih dahulu mengadakan survey tempat,  belum ditemukan data detail berapa hari cumi-cumi datang kembali melekatkan telurnya setelah  melakukan survey. Informasi yang didapatkan dari penelitian ini mengatakan  3 - 14 hari  (n = 3) setelah survey lokasi baru.
Cumi-cumi didalam melakukan survey tempat pelekatan telur  dilakukan secara berkelompok (lebih dari 1 pasang). Pada penelitian ini ditemukan sampai 4 pasang cumi-cumi. Kedatangan cumi-cumi yang kedua kalinya langsung menuju atraktor cumi-cumi searah arus laut, ada juga yang berputar 90 dan 360 derajat (Gambar 19 A), Kemudian berhenti sejenak, lalu cumi-cumi betina diiringi cumi-cumi jantan bergerak maju memeriksa media/substrat dimana telurnya akan dilekatkan, kemudian mundur lagi selang beberapa detik kemudian maju lagi untuk melekatkan telurnya yang  diiringi oleh cumi-cumi jantan yang selalu mendampinginya (Gambar 19 B). Keadaan seperti ini berlangsung selama 15 menit kemudian cumi-cumi tersebut pergi meninggalkan atraktor.




Keterangan Gambar :
A – A’ :Pergerakan cumi-cumi jantan (maju mundur) pada saat mendampingi cumi-cumi betina penempelkan telurnya
B  –  B’  : Pergerakan cumi-cumi betina (maju mundur) pada saat penempelan telur

Gambar 19. Tingkah Laku Cumi-cumi Sebelum Pelekatan Telur (A), Tingkah Laku Cumi-cumi pada Saat akan Melekatkan Telurnya (B)

Proses pelekatan telur cumi-cumi untuk pertama kalinya pada media pelekatan telur itu didahului dengan proses identifikasi media pelekatan telur dengan cara penglihatan kemudian dilanjutkan dengan perabaan dengan menggunakan tentakel oleh induk betina. Dari hasil respon penglihatan dan rabaan itu kemudian cumi-cumi mengambil tindakan untuk melekatkan telurnya pada media pelekatan telur yang dipilihnya.
1. Durasi/Periode Waktu Pelekatan Telur
Periode waktu pelekatan telur diperkirakan pada subuh hari menjelang pagi atau sebelum  jam   tujuh  pagi.  Pada waktu tersebut sering ditemukan  pasangan cumi-cumi  berada dekat dengan    atraktor   cumi-cumi.   Cumi-cumi   di  dalam    melekatkan  
telur dilakukan sekitar pukul  06.00 – 07.00 am atau lebih spesifik pada pukul  06.35 - 06.55 am,   n = 3  (Gambar 20) dan dilakukan  secara perpasangan dan dalam  kelompok kecil, ditemukan sampai 4 pasangan sedangkan pada sore hari tidak ditemukan    pasangan    cumi-cumi. Keberadaan cumi-cumi disekitar atraktor hingga menjelang siang hari dan pada   sore   hari   cumi-cumi cenderung berada pada daerah  terumbu karang sebelah Utara lokasi penelitian yang merupakan daerah aktivitas penangkapan cumi-cumi. Lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 21.  Hanlon (2004), mengatakan bahwa aktivitas penempelan telur cumi-cumi pada susbtrat terjadi  pada siang  hari dan tidak  menemukan pada malam hari. Hal senada yang ditemukan oleh Tallo (2006), bahwa  telur  cumi-cumi  menempel   pada  atraktor cumi-cumi pada  periode   pengangkatan  atraktor  pada  waktu  menjelang  pagi.

Gambar 20. Durasi Waktu Pelekatan Telur



Gambar 21. Distribusi dan Aktivitas Cumi-cumi di Daerah Pemijahan 

2. Waktu dan Frekuensi Pelekatan  Telur.
  Waktu pelekatan telur pada penelitian ini pertama kali ditemukan didalam atraktor pada hari ke 35 (22 Nopember 2012)  setelah penanaman atraktor, yaitu sebanyak 2 koloni telur dan terakhir pada hari ke 60 (17 Desember 2012)  yaitu sebanyak 3 koloni telur.  Waktu pelekatan telur dapat dilihat pada Tabel 4.  Tallo (2006), menemukan telur pada atraktor di minggu ke 2 setelah diturunkan pada bulan Agustus-September. Aras (2008), menemukan telur cumi-cumi di atraktor pada bulan Agustus pada  kedalaman 5 - 7 meter. Di perairan Pulau  Bangka cumi-cumi menempelkan telurnya  di atraktor yang ditanam pada bulan Oktober - Desember pada kedalaman 3 - 7 meter.  Selanjutnya, Hatfield dkk (2002),  mengemukakan bahwa cumi-cumi bertelur sepanjang tahun dengan musim puncak yang bervariasi sesuai dengan geografis daerah tersebut.
Frekuensi pelekatan  telur dalam atraktor cumi-cumi pada penelitian ini belum ditemukan data yang pasti,  akan tetapi data penelitian mengatakan  tiap 1 - 12 hari. Rataan frekuensi  setiap kali penempelan telur yang terjadi di dalam atraktor cumi-cumi adalah  6,25 hari  n =  4, sedangkan  rataan frekuensi  setiap kali pelekatan   telur di dalam dan diluar atraktor  adalah 4 hari,  modus adalah 3 hari dimana  n = 7. Lebih jelas dapat dilihat pada Tabel  4.  Pelekatan telur pada substrat, cumi-cumi melakukannya berulang-ulang kali dengan interval waktu 10 – 30 detik selama kurang lebih 15 menit (n = 3).  Jantzen (2003), menemukan interval waktu 20 detik. Danakusumah et al. (1995) menemukan cumi-cumi memijah dua sampai tiga kali sebelum mati, dengan  selang  waktu 3 – 4 hari antara pemijahan yang pertama dan berikutnya. Di Jepang, Segawa et al. (1993b) memperoleh cumi-cumi betina yang meletakkan telurnya sebanyak empat kali setelah terjadi sekali kopulasi. Bahkan Wada dan Kobayasbi (1995) dalam Syarifuddin (2002), menemukan seekor cumi-cumi betina yang dipelihara dengan seekor cumi-cumi jantan memijah sebanyak 11 kali dalam  interval waktu 1-9 hari.
Tabel 4. Frekuensi  Pelekatan Telur Cumi-cumi
Hari ke Frekuensi Uraian
32 - Temuan pertama kali telur diranting kayu
35 3 Temuan pertama kali telur didalam atraktor
38 3 Menanam ranting kayu seputar atraktor
41 3 Temuan Telur pada ranting kayu yang ditanam dihari ke 38
42 1 Temuan telur di dalam atraktor
43 1 Temuan telur di dalam atraktor
48 5 Temuan telur di dalam atraktor
60 12 Temuan telur di dalam atraktor

3. Posisi Pelekatan Telur dalam Atraktor Cumi-cumi
Posisi pelekatan  telur cumi-cumi pada media pelekatan telur yaitu diletakkan tergantung pada bagian atas media pelekatan telur  dibawah penutup atraktor pada posisi agak ke dalam, (Gambar 22)


Gambar 22. Telur yang Menempel pada Substrat Tali (Gambar atas), Ilustrasi Posisi Telur pada Substrat Tali (Gambar Bawah)

sehingga dengan demikian dapat diasumsikan bahwa cumi-cumi senang melekatkan telurnnya pada tempat-tempat yang agak gelap dan terlindungi. Tallo (2006), menemukan telur cumi-cumi  menempel pada  daerah-daerah yang agak gelap atau tersamar dan terlindung.  Sebanyak 13 helai susbtrat yang dipilih oleh cumi-cumi melekatkan telurnya, dan tidak merata pada setiap susbtrat.  Posisi pelekatan, jumlah polong dan volume koloni pada substrat dapat dilihat pada Gambar 23.

Keterangan Gambar :
Angka dalam lingkaran 1-32 = Nomor substrat
Tanda panah = Menunjukkan urutan nomor substrat
Angka dalam kurva :

Gambar 23. Jumlah Polong dan Volume Koloni  Telur Cumi-cumi pada Setiap Substrat.

4. Penetasan Telur Cumi-cumi
Penetasan telur di atraktor cumi-cumi pada saat penelitian tidak ditemukan hingga dihari yang ke 60,  sehingga ada beberapa sampel telur  yang diambil untuk melengkapi informasi penelitian. 7 polong telur yang diambil terdiri dari 5 polong berisi 3 kapsul telur, 1 polong berisi 2 kapsul dan 1 polong berisi 1 kapsul jumlah total 15 kapsul telur.  Beberapa polong telur ini ditempatkan pada tabung transparan pada   kedalaman  67 cm.  Diameter  tabung 10 cm, tinggi air  dalam tabung adalah 81 cm dan diaerasi terus menerus selama 24 jam bersama ikan hias laut ikan badut (anemon fish) Amphiprion ocellaris. Kapsul telur yang diambil dari atraktor cumi-cumi ini ditempelkan pada hari ke 48 (5 Desember 2012) atau telah berumur 14 hari dengan ukuran polong 64 mm berdiameter 13 mm. Panjang kapsul telur adalah 22 mm. Telur menetas pada tanggal 2 Januari 2013 jam 19.20 dihari yang ke 28.  Panjang rata-rata larva cumi-cumi berumur 10 menit adalah 7,7 mm (n =7) dan yang berumur 1 hari adalah 9,7 mm (diukur dari luar tabung) n = 3.
Telur cumi-cumi yang menjadi sampel mempunyai panjang polong  64 mm dan panjang kapsul 22 mm berdiameter 13 mm dan  menetas di aquarium di hari yang ke 28 – 31 sebanyak 7 kapsul       (47%) dari 15 polong telur  yang menjadi sampel. Ukuran telur dan larva  dapat dilihat pada  Gambar 24 dan  25. Tallo (2006), mengatakan bahwa telur cumi-cumi yang di inkubasi  menetas di hari yang ke 28 – 30, telur yang telah menetas tampak berlubang dan mengempes. Rendahnya daya tetas ini mungkin diakibatkan oleh sangat sederhananya perlakuan dalam penetasan. Aquarium hanya diaerasi 24 jam  dan  tidak ada lagi  perlakuan  lain.  Salinitas



Gambar 24. Penampang Telur Umur 10 Menit (A), Penampang Telur Umur 14 hari.(B).


 Gambar 25. Ukuran Larva Cumi-cumi Berumur  10 Menit.

dan temperature tidak dikontrol karena faktor keterbatasan  padahal,  salinitas  dan temperature  air  selama  penetasan    akan  berpengaruh  terhadap  perkembangan  embrio  di dalam telur sehingga akan mempengaruhi keberhasilan penetasan. Pada beberapa spesies cumi-cumi,  pengaruhnya  berupa  semakin  lamanya  waktu  penetasan, Takdir  (2004).
Telur cumi-cumi yang menetas menjadi larva memiliki organ-organ yang telah berkembang dan dapat digunakan secara aktif untuk mencari makanan, bersembunyi dan melarikan diri. Larva cumi-cumi yang menetas hanya  sempat hidup 1 – 72  jam.  Kematian larva kemungkinan besar karena kehabisan makanan atau dimangsa oleh ikan badut besar yang dipelihara bersama.   Panjang rata-rata larva cumi-cumi berumur 10 menit adalah 7,7 mm dimana  (n =7) dan yang berumur 1 hari adalah 9,7 mm (diukur dari luar tabung) n = 3.  Syarifuddin (2002), memperoleh panjang rata-rata larva cumi-cumi  adalah 5,3 - 6,2 mm dan Segawa (1987), juga memperoleh panjang larva cumi-cumi  5 - 7 mm dalam Syarifuddin (2002). Adanya perbedaan panjang larva cumi-cumi kemungkinan besar disebabkan oleh cara pengukuran panjang larva yang tidak tepat yaitu larva hanya diukur dari luar tabung pengamatan

atraktor cumi-cumi

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat
Penelitian dilakukan di Perairan Pulau Pute Anging Kabupaten Barru.  Waktu penelitian selama 3  bulan, (Oktober – Desember 2012)
B. Alat dan Bahan Penelitian




C. Prosedur Kerja
1. Pemilihan Lokasi.
Pemilihan lokasi dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran yang sesuai untuk pemasangan atraktor. Kedudukan atraktor di  dasar perairan harus stabil walaupun terjadi pergerakan arus yang kuat.  Persyaratan  untuk lokasi penempatan atraktor  cumi-cumi adalah :
a. Dasar perairan berpasir atau pasir karang,
b. Kondisi air jernih sampai kedalam 4-5 meter
c. Kedalaman 3-7 meter dengan topografi dasar laut agak landai (Baskoro dkk, 2011)
d. Dekat dengan terumbu karang  dan padang lamun.
e. Kecepatan arus pada daerah tersebut tidak lebih dari 0,5 knot (Baskoro dkk, 2011)
f. Sering ditemukan cumi-cumi bertelur pada lokasi tersebut.
2. Desain dan Kontruksi  Atraktor Cumi-cumi.
Desain atraktor cumi-cumi   yang   dibuat adalah atraktor berbentuk kotak dengan sistem pelampung dan pemberat.  Desain ini mempunyai performance yang baik, stabil dalam air, material yang dipergunakan mempunyai daya tahan yang baik terhadap air laut dan tersedia banyak di pasaran dengan harga yang terjangkau, disamping itu pengangkutan alat yang mudah karena dapat dilipat dan dibongkar pasang serta teknik pembuatan alat yang relatif gampang (150 menit per unit atraktor).
Untuk mendapatkan gambaran tentang desain atraktor yang dirancang, semua bahan yang dipergunakan diukur panjang,  lebar,  diameter,   jenis bahan, jenis simpul atau sambungan yang dipergunakan, kemudian diuji coba dalam air untuk melihat kestabilan, daya tenggelam dan daya apungnya.
Kontruksi atraktor cumi-cumi terbuat dari bahan dasar  tali polyetheline (PE)  dan pipa pralon (PVC) yang dirangkai sehingga berbentuk kotak empat persegi panjang. Atraktor yang dibuat sebanyak 4 unit atraktor cumi-cumi.
Atraktor cumi-cumi terdiri dari pelampung, bingkai atraktor (frame rope), penutup atraktor,  material pelekatan telur,  tali-temali dan pemberat.
3. Setting Atraktor Cumi-cumi
Pemasangan atraktor dalam perairan dilakukan secara acak pada kedalaman 3 - 4 meter, tiap atraktor saling terikat dengan lainnya. Jarak setiap atraktor adalah 1 meter agar cumi-cumi bebas memilih atraktor yang mana yang ia sukai/pilih untuk menempelkan telurnya.  Peletakan atraktor cumi-cumi dalam air dilakukan dengan menyelam untuk memposisikan atraktor sesuai dengan keinginan peneliti. Setting atraktor dapat dilihat pada Gambar 5

Gambar 6. Setting Atraktor
D. Metode Penelitian
1. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan observasi, dokumentasi dan wawancara dengan nelayan cumi-cumi. Observasi dilakukan ke lapangan dengan melakukan eksperimental fishing (mengoperasikan atraktor cumi-cumi). Pengambilan data telur dilakukan dengan menyelam dan menaikkan atraktor dibawah permukaan air kemudian melakukan pengamatan langsung dengan menggunakan masker selam, senter,   mengambilan foto atau gambar bergerak jika diperlukan sedangkan pengamatan tingkah laku cumi-cumi pada saat pemijahan dilakukan dipermukaan air dengan masker selam dan senter kedap air.  Telur-telur  yang dilekatkan pada substrat kemudian dicatat jumlahnya, posisi tempat dilekatkan, waktu pelekatan, frekuensi pelekatan, durasi pelekatan, kondisi fisik atraktor (ukuran, dimensi, bahan) interaksi organisme disekitar atraktor dan tingkah laku cumi-cumi pada saat akan melekatkan telurnya pada substrat. Informasi tingkah laku cumi-cumi di daerah pemijahan  juga didapat dari beberapa nelayan cumi-cumi. Semua data yang terkumpul  kemudian ditabulasi  selanjutnya diadakan analisis data. Waktu Pengumpulan data dilakukan pada pagi dan sore hari yaitu pada pukul 06.00 – 07.00 dan 17.00 – 18.00.


2. Analisis Data
Data yang terkumpul dari hasil observasi, dokumentasi dan wawancara kemudian dianalisis secara induktif,   sehingga dapat diberikan gambaran atau kesimpulan akhir  yang tepat mengenai hal-hal yang sebenarnya terjadi. Fakta-fakta empiris yang ditemukan kemudian dicocokkan dengan landasan teori yang ada.

atraktor cumi-cumi

BAB II.
TINJAUAN PUSTAKA
A.   Klasifikasi dan Morfologi Cumi-Cumi

Cumi-cumi termasuk kedalam Phylum Mollusca, Cuvier 1798, Class Cepha-lopoda, Schneider 1784, Sub-class Coleoidea, E. W. Berry 1928, Order Teuthoidea, Naef 1928,  Suborder Myopsida, d'Orbigny 1845, Family Loliginidae, d'Orbigny 1845. Ordo Theuthoidea merupakan ordo terbesar dari Chepalopoda, terdiri dari 25 suku tetapi hanya empat suku yang mempunyai nilai ekonomi, yaitu suku Loliginidae, Omastrephidae, Onychoteuthidae dan Thysanoteuthidae. Dari suku Loliginidae ada delapan marga, tetapi hanya tiga marga yang bernilai ekonomis, yaitu: Loligo, Sepioteuthis dan Uroteuthis. Dari ketiga marga yang tersebut di atas terdapat lima jenis yang bernilai ekonomis, yaitu: Loligo duvauceli, Loligo edulis, Loligo singhalensis, Sepeteuthis lessoniana dan Uroteuthis bartsschi, sedangkan tiga suku lainya masing-masing mempunyai satu jenis yang bernilai ekonomis,  Onytchotethis banksi, Symplectoteuthis oualanienis dan Thysanoteuthis rhombus
 







Gambar 1.  Keluarga Chepalopoda
Karakteristik khusus yang dimiliki cumi-cumi adalah adanya tinta yang terdapat di atas usus besar dan bermuara didekat anus. Bila cumi-cumi diserang musuhnya, kantong tinta akan berkontraksi dan mengeluarkan cairan berwarna hitam gelap melalui pipa ini. Hal ini menyebabkan terbentunya awan hitam disekelilingnya yang memungkinkan cumi-cumi terhindar dari serangan. Cairan yang berwarna hitam yang dikeluarkan mengandung butir-butir melanin (Jacobson, 2005).
          Lebih lanjut Jacobson (2005) mengemukakan bahwa secara morfologi tubuh cumi relatif panjang, langsing dan bagian belakang meruncing (rhomboidal). Tubuh cumi-cumi dibedakan atas kepala, leher dan badan.  Kepala terletak di bagian ventral,  memiliki dua mata yang besar dan tidak berkelopak, berfungsi sebagai alat untuk melihat, mempunyai pandangan mata yang sangat bagus.  Leher pendek dan badan berbentuk tabung dengan sirip lateral berbentuk segitiga di setiap sisinya.  Pada kepala terdapat mulut yang dikelilingi oleh empat pasang tangan dan sepasang tentakel (8 tangan dan 2 tentakel panjang).  Pada permukaan dalam tangan dan tentakel terdapat batil isap yang berbentuk mangkok terletak pada ujung tentakel. Gigi khitin atau kait terletak pada tepi batil isap untuk memperkuat melekatnya mangsa yang diperolehnya.  Pada posterior kepala terdapat sifon atau corong berotot yang berfungsi sebagai kemudi. Jika ia ingin bergerak ke belakang, sifon akan menyemburkan air ke arah depan, sehingga tubuhnya bertolak ke belakang. Sedangkan gerakan maju ke depan menggunakan sirip dan tentakelnya. Di bagian perut, tepatnya pada sifon akan ditemukan cairan tinta berwarna hitam yang mengandung pigmen melanin. Fungsinya untuk melindungi diri. Jika dalam keadaan bahaya cumi-cumi menyemprotkan tinta hitam ke luar sehingga air menjadi keruh. Pada saat itu cumi-cumi dapat meloloskan diri dari lawan.  Pada anterior badan terdapat endoskeleton.  Sistem skeletal terdiri atas endoskeleton yang berbentuk pen atau bulu dan beberapa tulang rawan. Beberapa tulang rawan tersebut membentuk artikulasi untuk sifon dan mantel, yang lain melindungi ganglia dan menyokong mata. Endoskeleton yang berbentuk pen tersebut homolog dengan cangkang pada Mollusca lain. Pada Loligo endoskeleton tersebut (cangkang) terletak di dalam rongga mantel berwarna putih transparan, tipis dan terbuat dari bahan kitin. Mantel berwarna putih dengan bintik-bintik merah ungu sampai kehitaman dan diselubungi selaput tipis berlendir.  Selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Anatomi Cumi-cumi

Sistem saraf yang berkembang baik yang dipusatkan dikepala, berenang dengan cepat, menunjukkan emosi, berubah warna dengan cepat dengan kromatofor, dan dapat merayap di dasar atau berenang didekat dasar. Kelompok hewan ini ber-badan lunak dan tidak mempunyai cangkang yang tebal, mantelnya menyelimuti sekeliling tubuhnya  membentuk kerah yang agak longgar pada bagian leher. Jenis yang paling umum dijumpai adalah antara lain cumi-cumi (Loligo vulgaris) dengan tubuh yang langsing. Kerangkanya tipis dan bening yang terdapat didalam tubuhnya. (Nontji. 2002). 
B.   Habitat dan Tingkah Laku
Pada umumnya cumi-cumi ditemukan pada daerah pantai dan paparan benua hingga kedalaman 400 meter. Beberapa spesies cumi-cumi hidup sampai di perairan payau. Cumi-cumi digolongkan sebagai organisme pelagik, tetapi kadang-kadang digolongkan sebagai organisme demersal karena sering berada di dasar perairan. Cumi-cumi melakukan pergerakan diurnal, yaitu pada siang hari akan berkelompok didekat dasar perairan dan akan menyebar pada daerah permukaan pada malam hari (Brodziak, 1999 dalam Tallo, 2006).
Cumi-cumi tergolong hewan pemakan daging (karnivora) oleh sebab itu semua biota laut yang bisa masuk mulutnya akan dimakan seperti kerang, ikan dan hewan laut lainnya. Cumi-cumi menangkap mangsanya dengan menggunakan jari-jarinya  yang mempunyai mangkok pengisap, giginya menyerupai paruh betet yang tajam. Cumi-cumi ada yang hidup dilaut dalam dan ukurannya sangat besar (Baskoro 2007).
Cumi-cumi sangat terbantu selama berburu dengan adanya alat peraba (tentakel) pada mulutnya.  Tentakel yang seperti cambuk ini biasanya tetap tergulung dalam kantung yang terletak di bawah lengan-lengannya.  Ketika menemukan mangsa, cumi-cumi menjulurkan tentakel untuk menyergapnya. Makhluk ini bergantung pada lengan-lengannya yang jumlahnya delapan.  Ia mampu dengan mudah mencabik-cabik seekor kepiting menjadi serpihan kecil dengan menggunakan paruhnya. Cumi-cumi menggunakan paruhnya dengan begitu terampil sehingga mampu dengan baik melubangi kulit cangkang kepiting dan mengeluarkan dagingnya dengan lidah.
C.   Reproduksi dan Siklus Hidup
Cumi-cumi berproduksi secara seksual. Cumi-cumi betina mengeluarkan ba-nyak benang telur ke dalam air, sedangkan yang jantan mengeluarkan sperma.  Cumi-cumi mempunyai sifat dimorfil seksual, yaitu perbedaan morfologi antara betina dan jantan. Perbedaan yang umum adalah cumi-cumi betina lebih besar dari pada cumi-cumi jantan.  Perbedaan kelamin  juga dapat dilihat bahwa pada jantan lengan empat berubah menjadi alat kopulasi yang disebut hektokotil yang berfungsi menyalurkan sperma ke betina. Ketika melakukan kopulasi, hektokotil telah berisi sperma dan di-masukkan ke dalam rongga mantel betina kemudian sperma akan membuahi telur-telur pada cumi-cumi betina. Sebelum melakukan kopulasi cumi-cumi jantan akan mengambil sperma dari alat genitalianya. Sperma akan dikemas dalam tabung khitin, yang dinamakan spermatofor yang ukurannya sekitar 10–15 mm. Dalam satu hari jantan dapat memproduksi kurang lebih 12 spermatofor (Roper et al.1984).
Di bawah kulit cumi-cumi tersusun sebuah lapisan padat kantung-kantung pewarna lentur yang disebut kromatofora. Dengan menggunakan lapisan ini, cumi-cumi dapat mengubah penampakan warna kulitnya yang tidak hanya membantu dalam penyamaran akan tetapi juga sebagai sarana komunikasi.  Seekor cumi-cumi jantan menunjukkan warna yang berbeda ketika kawin dengan warna yang digunakan ketika menghadapi musuhnya. Saat cumi-cumi jantan bercumbu dengan cumi-cumi betina, kulitnya berwarna kebiruan. Jika jantan lain datang mendekat pada waktu ini, ia menampakkan warna kemerahan pada separuh tubuhnya yang terlihat oleh jantan yang datang itu.  Merah adalah warna peringatan yang digunakan saat menantang atau melakukan serangan (Roper et al.1984).
Terdapat pula rancangan sempurna pada sistem perkembangbiakan cumi-cumi. Telurnya memiliki permukaan lengket yang memungkinkannya menempel pada rongga-rongga di kedalaman lautan. Janin yang ada dalam telur memakan sari makanan yang telah tersedia dalam telur tersebut hingga siap menetas. Janin ini memecah selubung telur dengan cabang kecil mirip sikat pada bagian ekornya. Setiap seluk beluknya telah dirancang dan bekerja sebagaimana direncanakan. Seekor induk cumi-cumi rata-rata mampu menghasilkan sekitar 500 butir telur (Baskoro, 2007).
Menurut Summers (1971); Lange (1982) dalam Jacobson (2005), cumi-cumi mempunyai jangka waktu hidup 1–2 tahun.  Brodziak dan Macy (1996) melakukan pengukuran pertumbuhan cumi-cumi dengan metode statolith diperoleh bahwa umur kurang dari satu  tahun ukurannya dapat mencapai sekitar 40–50 cm, tetapi sebagian besar masih kurang dari 30 cm.  Selanjutnya masa hidup cumi-cumi hanya 6–9 bulan (Yang et al. 1983; Jackson,1994; dan Jackson, 2003 dalam Hanlon, at.al. 2004).
D.    Populasi dan Distribusi
Populasi cumi-cumi semakin hari kian terancam keberadaanya, mengingat kini makin meningkat intensitas pencemaran dan kerusakan lingkungan di laut. Hal ini tentu saja akan berpengaruh terhadap ekosistem laut terutama cumi-cumi yang ter-golong hewan yang amat peka terhadap pencemaran. Sedikit saja terjadi perbedaan kualitas air akan menghindar dari kawasan perairan tersebut, selain itu cumi-cumi juga tidak bisa kawin kalau bukan pada habitat aslinya,  sehingga sulit untuk dibudidaya-kan  (Baskoro, 2008).
Menurut Soewito (1990) dalam Aras (2008), cumi-cumi menghuni perairan dengan suhu antara 8–32 ÂșC dan salinitas 8,5–30‰. Terjadinya kelimpahan cumi-cumi ditunjang oleh adanya zat hara yang terbawa arus (run off) dari daratan.  Zat hara tersebut dimanfaatkan oleh zooplankton, juvenile ikan ataupun ikan-ikan kecil yang merupakan makanan cumi-cumi.
Cumi-cumi pada siang hari berada didasar perairan, pada malam hari cumi-cumi bergerak ke permukaan air.  Cumi-cumi biasanya bermigrasi secara bergerombol (Scooling).  Cumi-cumi sangat berasosiasi dengan faktor lingkungan seperti salinitas, suhu dan kedalaman perairan.  Kedalaman perairan berpengaruh terhadap keberadaan cumi-cumi (Brodziad and Hendrickson, 1999 dalam Tallo, 2006).
Migrasi harian cumi-cumi dipengaruhi pula oleh kehadiran predator dan pe-nyebaran makanan.  Cumi-cumi dewasa pada umumnya bermigrasi ke daerah pemijahan secara bergerombol. Genus Ommastrphid diketahui memijah di daerah lepas pantai, sedangkan Loligonid memijah di dekat pantai (in shore).  Pada waktu bermigrasi ke daerah dekat pantai untuk memijah, cumi-cumi jantan dari genus Loligo tiba lebih dahulu di pantai dari betina. Cumi-cumi akan segera meninggalkan suatu lingkungan perairan yang tercemar dan mencari perairan yang lebih baik (Sauer et.al, 1999 dalam Tallo, 2006).
E.   Kapsul Telur
Istilah kapsul telur dimana di dalamnya terdapat telur-telur sering disebut dalam menjelaskan perkembangan embrio. Kapsul pada mulanya disebut chorion yang merupakan sekresi dari folikel selama tahap akhir oogenesis.  Telur yang telah matang  dan  bebas  dari  jaringan  folikel, dikeluarkan  melalui  saluran  telur  dengan  cara satu persatu atau berturut-turut dalam satu  rangkaian yang berisi beberapa telur  pada satu kali pelepasan telur (Boletzky, 1977; Segawa, 1987 dalam Aras, 2008).  Telur cumi-cumi yang ditempelkan umumnya berkumpul membentuk koloni.  Adapun bentuk telur cumi-cumi ditampilkan pada Gambar 3. dapat mencapai 10 sampai 275 kapsul
  




Gambar 3.  Telur Cumi-cumi (Aras, 2008)


Telur-telur yang telah dibuahi akan dikeluarkan satu per satu atau dalam kapsul-kapsul gelatin kemudian diletakkan atau ditempelkan pada karang, batu-batuan, ganggang, rumput laut atau benda lainnya. Telur cumi-cumi saling melekat hingga menyerupai untaian buah anggur. Pelindung tambahan gelatin yang membungkus masing-masing telur tadi akan mengeras saat bersentuhan dengan air laut Telur-telur diletakkan berserakan atau berkelompok  dalam untaian kemudian akan menetas setelah enam minggu atau  lebih. Diameter telur antara 0,8–20 mm dan jumlahnya bervariasi sekitar 60 butir atau lebih dalam satu kelompok. Cumi-cumi tidak mengenal tahap kehidupan sebagai larva,  dimana setelah telur menetas bentuknya seperti induknya (Roper, et al. 1984).
Cumi-cumi meletakkan telur dalam tumpukan yang dibungkus jelly atau kapsul yang memiliki bentuk menyerupai gulungan spiral. Jumlah minimum telur  pada setiap kapsul yang ditemukan pada Sepioteuthis lesoniana adalah dua butir. Jumlah telur normal pada setiap kapsul adalah tiga atau lebih setiap kapsul (Segawa, 1987 dalam Aras, 2008).
F.     Atraktor Cumi-Cumi
Salah satu alat bantu penangkapan ikan yang telah dikenal masyarakat nelayan sebagai alat pemikat ikan adalah rumpon atau biasa disebut juga atraktor. Alat ini tersusun dari beberapa komponen, antara lain rakit, atraktor, tali rumpon, dan jangkar Samples dan Sproul (1985) dalam Tadjuddah (2009) menyatakan bahwa tertariknya ikan yang berada di sekitar rumpon disebabkan karena: Rumpon sebagai tempat berteduh (shading place) bagi beberapa jenis ikan tertentu; Rumpon sebagai tempat mencari makan (feeding ground) bagi ikan-ikan tertentu; Rumpon sebagai substrat untuk meletakkan telurnya bagi ikan-ikan tertentu; Rumpon sebagai tempat ber-lindung dari predator bagi ikan-ikan tertentu; Rumpon sebagai tempat titik acuan navigasi (meeting point) bagi ikan-ikan tertentu yang beruaya.
 Von Brandt (1984), menyatakan bahwa metode yang sangat sederhana untuk memikat cumi-cumi untuk meletakkan telurnya adalah dengan menenggelamkan ranting pohon ke dalam perairan.
Atraktor cumi-cumi merupakan jenis rumpon yang dibuat dengan konstruksi yang sangat sederhana, yaitu berbentuk seperti bunga dengan diameter 120 cm dan tinggi 35 cm, terbuat dari  bahan kawat, plastik atau besi yang tidak mudah berkarat. Agar cumi-cumi betah berada di dalam atraktor, ditempatkan serabut-serabut dari tali agar mirip tumbuhan laut sebagai tempat cumi-cumi meletakkan telurnya dan pada bagian atasnya ditutupi lembaran plastik hitam (warna gelap) dimaksudkan agar cahaya matahari tidak menembus pada tempat cumi-cumi akan melepaskan telurnya (Baskoro, 2007).  Lebih lanjut dijelaskan bahwa pemasangan atraktor cumi-cumi dalam perairan menggunakan sistem long line. Dalam satu unit terdiri dari 10 buah atraktor yang dipasang memanjang diletakkan di dasar perairan sekitar terumbu karang dengan kondisi perairan yang jernih dan arus yang tidak terlalu kuat, kedalaman 5–7 meter dari permukaan laut. Biasanya sekitar satu bulan pasca diletakkan atraktor, baru terlihat ada telur cumi-cumi di alat tersebut dan akhirnya akan menetas dan menjadi cumi-cumi baru yang siap menjadi dewasa. Beberapa bentuk atraktor cumi-cumi terlihat pada Gambar 4 Dibawah ini.

B
 
A
 


C
 
Keterangan:    
A.   Bahan Dasar dari Ban Bekas
B.   Bahan Dasar Kawat Galvanisir
C.   Bahan Dasar Bambu
Gambar 4.  Atraktor Cumi-cumi dari Berbagai Bahan Dasar (http://www.kp3k.dkp.go.id/ttg/detaildttg/109/ atraktor-cumi-cumi).


G.    Penangkapan Cumi-cumi
Jenis cumi-cumi yang banyak tertangkap diperairan Indonesia (Paparan Sunda, Selat Makassar, Laut Flores, Laut Sulawesi, Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda dan Laut Arafura) adalah Loligo edulis, L. sinensis, L. duvaucelii, L. singhalensis, L. ujii, Sepiteuthis lessoniana, dan Nototodarus philippi-nensis (Mallawa, 2006).
Tallo (2006) menjelaskan bahwa penangkapan cumi-cumi yang paling intensif adalah pada musin memijah dimana cumi-cumi yang tertangkap sebagian besar telah matang gonad. Akibat penangkapan yang berlebih  tanpa memperhatikan faktor biologi dan ekologi  maka kesempatan cumi-cumi untuk berkembang biak sangat terbatas.
Pemanfaatan sumberdaya perikanan cumi-cumi melalui kegiatan penangkapan  sudah saatnya disertai upaya pengaturan penangkapan dan kegiatan budidaya yang meliputi upaya pemijahan (hatchery) dan pelepasan benih ke alam.  Upaya  ini  dapat  memperbaiki kerusakan sumberdaya cumi-cumi karena dapat di lakukan pengkayaan  stok untuk memperbaiki dan mempertahankan kelestarian sumberdaya cumi-cumi.  Salah satu faktor yang sangat penting untuk mendukung upaya budidaya cumi-cumi   adalah adanya ketersediaan telur dan keberhasilan pemijahan (Tallo,2006).
H.   Kerangka Pikir
  

Gambar 5. Lay Out Kerangka Pikir Penelitian